Seiring dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden AS, warga dunia
sangat mengharapkan perubahan gaya kepemimpinan di Gedung Putih yang
pada gilirannya kelak bisa mempengaruhi situasi dunia. Gaya kepemimpinan
kaum neo-konservatif AS seperti George W. Bush Jr. selama ini terbukti
lebih banyak membuat warga AS merugi terus daripada untung. Kalaupun
dapat untung, maka hal itu cuma dinikmati segelintir orang di sekitar
Bush. Sementara akibat kebijakan Bush yang bertangan besi, sudah banyak
membuat orang sengsara. Oleh karena itu, slogan Obama yang berbunyi
''Change, we believe in'' sesungguhnya merupakan pintu masuk untuk
merombak gaya kepemimpinan walaupun saat ini sudah banyak pula orang
yang mulai ragu pada slogan itu, untuk bisa dipraktikkan di tengah
kepungan kaum neo-konservatif. Kaum ini tak mengenal pemimpin, mereka
hanya tahu penguasa.
Pemimpin bukanlah
penguasa karena ia lahir bukan hendak semata menguasai, melainkan
pemimpin dilahirkan untuk membimbing masyarakat menuju ketenteraman dan
kemakmuran. Pemimpin yang hanya ingin memakmurkan masyarakatnya dengan
segala macam cara, termasuk cara kekerasan yang dihalalkan, jelas akan
membawa petaka. Seperti tampak pada beberapa tahun belakangan ini ketika
kepemimpinan Presiden AS George W. Bush, yang lebih menonjolkan
kekerasan untuk menguasai ladang-ladang minyak di kawasan Asia Tengah
dan Timur Tengah. Bush lebih suka cara kekerasan dengan mengeksploitasi
tragedi 11 September 2001, ketimbang menggunakan pola cerdik
berdiplomasi. Kepemimpinan semacam ini kontras sekali dengan masa
kepresidenan Bill Clinton, yang cenderung mengedepankan cara-cara budaya
dan diplomasi.
Buku ini merupakan kelanjutan karya mahaguru ilmu
pemerintahan JFK School of Government Universitas Harvard, Joseph Nye.
Karya Nye sebelumnya yang berjudul ''Soft Power'' (2004) menarik
perhatian karena membuka kembali wacana kekuasaan yang mempunyai
perlekatan dengan sejarah umat manusia. Kepemimpinan dalam sejarah umat
manusia merupakan soal gaya dan karakter. Gaya kepemimpinan keras selalu
mengutamakan cara-cara cepat, kasar, dan seringkali brutal. Sebaliknya,
gaya kepemimpinan lembut selalu mengutamakan pendekatan dan pengaruh.
Nye membedakan secara tegas antara dua gaya kepemimpinan itu sekaligus
dampak yang bisa ditimbulkannya. Bagi Nye, gaya kepemimpinan ini
cenderung destruktif. Gaya kepemimpinan keras (hardpower) memang bisa
dijalankan secara cepat dan memaksa, seperti yang diperlihatkan para
diktator dalam sejarah politik dan kekuasaan umat manusia.
Tentu
saja, mencapai dan mempertahankan kekuasaan dengan cara kekerasan
bukanlah jalan satu-satunya bagi seorang calon pemimpin atau pemimpin
yang ingin terus berkuasa. Melainkan, dengan cara lembut pun kekuasaan
bisa digenggam. Jalan lembut kekuasaan ini mewujud pada diplomasi,
dialog atau negosiasi. Faktor penting dalam gaya kepemimpinan lembut ini
adalah pengaruh terhadap objek kekuasaan. Jika objek itu adalah
masyarakat, maka seorang pemimpin dengan gaya softpower akan lebih
memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Cara
damai seperti perundingan antara juru-runding RI dan GAM pada Agustus
2005 terbukti sampai sejauh ini berhasil meredam gejolak di tanah
rencong itu. Memang, ada sebagian pihak yang menilai perundingan itu
menunjukkan kelemahan dari pihak perunding, namun sesungguhnya
efektivitas perundingan-lah yang terpenting.
Entah kebetulan atau
tidak, buku Nye yang pertama itu diterbitkan setahun sebelum perjanjian
Helsinki Agustus 2005 yang mengakhiri kekerasan antara RI versus GAM.
Walau tidak terkait langsung dengan perjanjian itu, jelas sekali
tergambar arah baru dunia saat ini ketika para pihak ingin menyelesaikan
sengketa tidak melulu bersifat zero sum game, melainkan semua pihak
bersengketa layak memperoleh kekuasaan untuk menang atau win-win
solution.
Nye berhasil membaca tanda-tanda zaman ini bahwa
kekerasan bukan lagi mode satu-satunya untuk menguasai sebuah objek.
Menurutnya, kelembutan dibutuhkan dalam proses-proses penyelesaian
masalah antar-pihak, utamanya untuk menggapai puncak kepemimpinan.
Selain diperlukan cara lembut, ditambah pula cara cerdik tanpa kekerasan
perlu bagi seorang pemimpin. Kelembutan dalam kepemimpinan menunjukkan
kearifan menyelesaikan masalah. Gaya kepemimpinan lembut semacam itu
kiranya sudah mulai jamak ditemui dalam forum-forum lintas negara atau
ketika para pemimpin negara saling bertemu untuk membahas sebuah masalah
global lainnya.
Nye bertumpu pada argumen historis, bahwa
sejarah kepemimpinan umat manusia menunjukkan sang pemimpin yang selalu
menggunakan kekerasan terbukti sangat mahal dan bisa menyedot sumberdaya
habis-habisan. Para pemimpin dunia yang memakai kekerasan untuk meraih
sekaligus mempertahankan kekuasaan terbukti harus mengeluarkan ongkos
besar. Hitler (Jerman), Mussolini (Italia), Franco (Spanyol), Stalin
(Rusia), dan pemimpin bengis lain perlu menguras biaya negara luar biasa
besar agar bisa terus menciptakan ketakutan, teror, serta ketundukan
total rakyatnya. Para diktator itu hanya memikirkan bagaimana cara
efektif menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka
menciptakan gaya kepemimpinan otoriter yang menghalalkan kekerasan atas
nama demi stabilitas nasional. Kalaupun harus mempraktikkan rayuan
kepada lawan-lawan politik, ternyata kemudian seringkali ketundukan
lawan-lawan politik dari para diktator ini muncul akibat takut atau
pasrah. Bukan dikarenakan merasa ikut bersama di bawah sebuah
kepemimpinan.
Agaknya, belakangan ini tema kepemimpinan terus
menghangat seiring dengan perkembangan sosial-politik di tanah air.
Ketika Pemilu 2009 semakin dekat pada saat bersamaan mulai muncul para
calon presiden alternatif. Oleh karena itu, semakin banyak latihan
kepemimpinan yang diperlukan oleh seorang calon pemimpin, selain
khalayak luas di luar bidang pemerintahan dan politik. Kalangan bisnis
dan non-politik lainnya juga terlihat sangat berminat, terutama untuk
pembentukan karakter yang bertujuan membentuk sikap seorang pemimpin.
Latihan yang terstruktur dengan baik, secara berkelanjutan diharapkan
bisa membangun sikap kepemimpinan dalam bidang-bidang tertentu. Akan
tetapi, tulis Nye, banyak pakar yang berpendapat bahwa kepemimpinan
otentik bersifat alamiah. Sejarah kuno telah menunjukkan hal itu. Para
pemimpin merupakan sosok yang dilahirkan, bukan dibentuk melalui
latihan. Pemimpin dilahirkan oleh komunitas, tidak dibentuk oleh latihan
yang dibuat komunitas tersebut. Namun demikian, Nye cenderung sepakat
pada pelatihan kepemimpinan dengan menyatakan bahwa dalam dunia modern
pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.
Menurut Nye lagi,
kepemimpinan adalah seni, bukan sains. Oleh karena itu, seni memimpin
merupakan perwujudan kedalaman rasa, bukan semata logika kekuasaan.
Dalam praktik kepemimpinan, seni memimpin tidak hanya berasal dari
mereka yang berada di puncak pemerintahan, melainkan para CEO perusahaan
pun sering menyumbangkan pola kepemimpinan yang layak untuk dikaji
(hlm. 74). Kepemimpinan kaku yang hanya bertumpu pada protokoler baku
sekarang sudah harus ditinjau-ulang. Kepemimpinan semacam ini terbukti
telah menjauhkan sang pemimpin dari mereka yang dipimpin. Mekanisme
umpan-balik dalam hubungan atas-bawah yang diperlihatkan dari masukan
para pekerja kepada atasan mereka bisa menjadi contoh untuk tata kelola
pemerintahan yang partisipatoris.
Kepemimpinan cerdik dengan
mekanisme umpan-balik tepat, bisa menggeser gaya kepemimpinan yang
bertumpu pada kekuasaan keras (hard power) atau kepada kekuasaan lunak
(soft power). Tidak lagi diperlukan gertakan, ancaman atau memasang muka
sangar hanya untuk mempertahankan kekuasaan, melainkan cukup
menunjukkan rasa empati yang tulus, sikap simpati serta dialog
emansipatoris. Maka, seorang pemimpin bisa menyelami alam pikir dan rasa
dari mereka yang dipimpin. Proses seperti ini bukan hanya layak
dilakukan saat akan meraih kekuasaan, namun saat berada di puncak
kekuasaan pun seorang pemimpin harus melakukannya jika ia hendak
menaklukkan ''hati dan pikiran'' (heart and mind) yang dipimpinnya. Nye
mengamati justru pada proses inilah yang tersulit sebab seringkali para
pimpinan tak sadar jika ia telah menggunakan kekuasaan keras, bukan
lunak. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar